Jumat, 10 April 2015

PERJANJIAN BERNAMA (NOOMINAT) HUKUM PERIKATAN



Perjanjian bernama adalah perjanjian yang sudah mempunyai nama sendiri, yang dikelompokkan sebagai perjanjian-perjanjian khusus dan jumlahnya terbatas, misalnya jual-beli, sewa-menyewa, tukar-menukar, pertanggungan, pengangkutan, dan melakukan pekerjaan. Dalam KUHPerdata diatur dalam titel V sampai dengan XVIII dan diatur dalam KUH Dagang.
Kontrak nominaat adalah kontrak yang bernama yang diatur dalam Pasal 1319 KUHPerdata yang menyebutkan, ‘’Semua perjanjian, baik yang mempunyai nama khusus, maupun yang tidak dikenal dengan suatu nama tertentu, tunduk pada peraturan umum yang termuat dalam bab ini dan bab yang lalu.’’
Kontak nominaat adalah kontrak-kontrak atau perjanjian yang sudah dikenal dalam KUHPerdata. Dalam KUHPerdata ada lima belas jenis kontrak nominaat, yaitu: Jual-beli, tukar-menukar, sewa-menyewa, perjanjian melakukan pekerjaan (perburuhan), persekutuan perdata, badan hukum, hibah, penitipan barang, pinjam pakai, pinjam-meminjam (pinjam pakai habis), pemberian kuasa, bunga tetap atau abadi, perjanjian untung-untungan, pananggungan utang, dan perjanjian perdamaian (Dading). Namun kelompok kami hanya akan menjelaskan beberapa kontrak nominaat/perjanjian bernama saja di dalam makalah ini diantaranya adalah:
1.      Jual Beli
    Jual beli adalah suatu persetujuan, yaitu pihak yang satu mengikatkan dirinya untuk menyerahkan suatu hak kebendaan, dan pihak lain membayar sesuai harga yang diperjanjikan (1457 KUHPerdata).

    Perjanjian jual beli adalah perjanjian yang terjadi antara dua pihak, yaitu pihak pertama sebagai penjual, sedangkan pihak kedua sebagai pembeli. Dalam perjanjian jual beli, tiap-tiap pihak memikul hak dan kewajiban. Pihak kedua berhak menerima barang, sedangkan pihak pertama berhak menerima uang sebagai pengganti barang. Pihak kedua berkewajiban membayar harga barang dengan uang, sedangkan pihak pertama berkewajiban menyerahkan barang yang sudah dibeli.
            Untuk terjadinya perjanjian ini cukup jika kedua belah pihak sudah mencapai persetujuan tentang barang dan harganya. Peraturan-peraturan tentang penyerahan (levering) dan risiko yang diterangkan diatas ini berlaku jikalau oleh pihak-pihak yang membuat perjanjian tidak dibuat sendiri peraturan-peraturan tentang itu. Justru dalam hal jual beli di dalam praktek banyak sekali dibuat peraturan-peraturan sendiri dalam kontrak-kontrak yang bertujuan menyimpang dari ketentuan-ketentuan undang-undang.

2.      Tukar-Menukar
     Tukar menukar adalah suatu persetujuan, yaitu kedua belah pihak mengikatkan dirinya untuk saling memberikian suatu barang secara timbale balik sebagai suatu ganti barang lainnya (1451 KUHPerdata).

3.      Sewa-Menyewa
     Sewa-menyewa adalah suatu persetujuan, yaitu pihak yang satu mingikatkan dirinya untuk memberikan kenikmatan suatu barang kepada pihak lain selama waktu tertentu, dengan pembayaran suatu harga yang disanggupi oleh pihak yang terakhir (1548 KUHPerdata).

     Perjanjian sewa menyewa adalah kesepakatan antara dua pihak dalam pengambilan manfaat suatu benda menurut batas waktu yang telah disepakati. Suatu perjanjian sewa menyewa merupakan suatu perjanjian dimana pihak yang satu menyanggupi akan menyerahkan suatu benda untuk dipakai selama suatu waktu tertentu, sedangkan pihak yang lain menyanggupi akan membayar harga yang telah ditetapkan untuk pemakaian itu pada waktu-waktu yang ditentukan. Pihak menyewa memikul dua kewajiban pokok, yaitu:
1.      Membayar uang sewa pada waktunya;
2.      Memelihara barang yang disewa itu sebaik-baiknya, seolah-olah itu barang miliknya sendiri.
Dalam perjanjian sewa-menyewa, pihak pertama sebagai penyewa hanya berhak menerina manfaat dari benda yang disewa selama waktu yang telah ditetapkan oleh kedua belah pihak. Contoh, Si A menyewa rumah si B dengan harga satu juta rupiah untuk satu tahun maka si B berhak menerima harga sewa rumahnya dan berkewajiban menyerahkan rumahnya untuk disewa selama satu tahun. Pengambilan manfaat dari perjanjian ini adalah fungsi dari benda yang disewa.

4.      Perjanjian Melakukan Pekerjaan (Perburuhan)
     Menurut Subekti, perjanjian kerja atau perburuhan sudah ada sejak tahun 1926 dan telah dimasukkan ke dalam peraturan baru dalam BW. Dalam peraturan yang baru terdapat banyak pasal yang bertujuan melindungi pihak pekerja atau buruh dari tindakan kesewenang-wenangan majikannya. Misalnya banyak hal-hal yang tidak boleh dimasukkan dalam suatu perjanjian perburuhan, sedangkan kekuasaan Hakim untuk campur tangan juga besar. Perlu diterangkan bahwa peraturan-peraturan dalam BW itu berlaku bagi tiap pekerj, baik ia seorang pekerja harian, maupun ia seorang direktur bank.
            Definisi lain bahwa perjanjian kerja adalah suatu perjanjian saat pihak yang satu, yaitu si buruh, mengikatkan dirinya untuk berada dibawah perintah pihak yang lain, yaitu si majikan, untuk suatu waktu tertentu melakukan pekerjaan dengan menerima upah (Pasal 1601a KUHPerdata)
            Bentuk perjanjian kerja untuk waktu tertentu berbeda dengan perjanjian kerja untuk waktu tidak tertentu. Perjanjian kerja untuk waktu tertentu harus dibuat secara tertulis dengan menggunakan bahasa Indonesia dan tulisan latin. Selain itu bentuk perjanjian harus memuat isi perjanjian kerja baik dalam KUHPerdata maupun dalam Peraturan Menteri Tenaga Kerja No. PER-05/PER/1986 tentang Kesepakatan Kerja untuk waktu tertentu, tidak ditentukan isi perjanjian kerja. Adanya jangka waktu perjanjian kerja untuk waktu tertentu, penggunaan perjanjian kerja dan Kesepakatan Kerja Bersama (KKB), kesepakatan kerja bersama dibuat antara serikat pekerja dan perusahaan. Apabila ada kesepakatan kerja bersama, tidak perlu ada peraturan perusahaan, begitupun sebaliknya.

Perjanjian kerja dibagi menjadi tiga macam, yaitu:
a.       Perjanjian perburuhan yang sejati (arbeids-overeenkomst);
b.      Perjanjian pekerjaan borongan (aanneming vanwerk);
c.       Perjanjian pekerjaan pelayanan jasa dan lepasan (overeenkomst tot het verrichten van enkele diensten).

Sifat-sifat perjanjian perburuhan yang sejati adalah:
a.       Adanya hubungan antara buruh dan majikan;
b.      Adanya gaji untuk para buruh yang sudah ditetapkan sebelumnya dengan ukuran Upah Minimum Regional (UMR);
c.       Adanya masa akhir bekerja, misalnya pensiun atau habis masa kontrak;
d.      Adanya uang pesangon, uang pensiunan, dan yang sejenisnya.
Dalam kaitannya dengan perburuhan, ada yang disebut dengan istilah nering-beding, yaitu suatu perjanjian agar para buruh menggunakan upah atau gajinya menurut petunjuk atau peraturan yang ditetapkan oleh majikan.
Perburuhan bukan hanya bersifat kontrak antara karyawan dan majikan, tetapi juga ada sanksi-sanksi  (strafbeding) untuk para karyawan yang melanggar peraturan majikannya atau peraturan perusahaan. Perjanjian antara para buruh dan majikan yang sekaligus menetapkan sanksi-sanksi tertentu harus tertulis sehingga mempunyai kekuatan hukum.

    Dalam perjanjian perburuhan, tidak dilarang apabila diperjanjikan bahwa para pekerja yang sudah pensiun dari pekerjaannya tidak akan mendirikan perusahaan yang sama dengan mantan majikannya sehingga manjadi saingan perusahaan mantan majikannya (concurrentiebeding).

    Para buruh yang sudah melakukan perjanjian kerja tidak dibenarkan berhenti sebelum masa kontrak selesai. Apabila dilakukan, pihak perusahaan dapat menuntutnya ke pengadilan, kecuali pekerja tersebut berhenti dengan alas an-alasan tertentu yang dipandang sebagai  pelanggaran perjanjian yang dilakukan oleh pihak perusahaan, tetapi pekerja tersebut wajib membuktikan alas an-alasan tersebut di depan pengadilan (dringende redenen), atau sebaliknya pekerja diberhentikan oleh majikan karena alas an tertentu dan dapat dibuktikan di depan pengadilan. Contoh: (1) para buruh diberhentikan karena perusahaan bangkrut; (2) karyawan diberhentikan karena terlalu sering mangkir dalam bekerja; (3) karyawan berhenti bekerja karena majikan tidak membayar gaji; (4) karyawan berhenti karena sakit atau mangalami kecelakaan kerja.

Kerja borongan atau pemborongan pekerjaan (aanneming van werk) adalah perjanjian antarpihak yang mengambil pekerjaan dengan pihak yang member pekerjaan dengan bayaran yang ditetapkan lebih awal. Pekerjaan sistem borongan banyak dilakukan di masyarakat, misalnya pekerjaan borongan membangun rumah, menjahit pakaian jadi untuk panitia, membuat kaos untuk anggota partai polotik.

Pemborongan pekerjaan dibagi dua, yaitu:
a.       Borongan hanya pengerjaannya, sedangkan bahan dari majikan, misalnya membangun rumah, pekerjaannya diborong, sedangkan bahan materialnya sepenuhnya ditanggung pemilik rumah;
b.      Borongan pengerjaan sekaligus materialnya, misalnya menjahit pakaian seragam sekolah sekaligus bahan kainnya ditangani oleh penjahit.

Selain kerja borongan, ada yang disebut dengan kerja lepasan, artinya perjanjian kerja antara karyawan dan majikan yang sifatnya pengambilan manfaat dari jasa karyawan tanpa ada ikatan perjanjian kerja lainnya, misalnya tukang yang diminta mengerjakan pembuatan kusen dan pintu, yang jasanya dibayar per hari tanpa diberi makan.
Seluruh jenis perjanjian perburuhan dapat dikategorikan ke dalam perjanjian sewa menyewa jasa yang dalam konsep hukum perikatan dapat disebut sebagai bagian dari hukum ketenagakerjaan atau hukum perburuhan.
Pada dasarnya, perjanjian yang berlangsung dalam kehidupan masyarakat banyak sekali bentuknya, misalnya perjanjian utang piutang, perjanjian jual beli, perjanjian kerja sama usaha, perjanjian kerja, dan sebagainya. Semua itu merupakan bagian dari hukum perikatan yang tertuang dalam perjanjian.
Menurut Salim H.S., setiap pembuatan perjanjian memerlukan biaya yang meliputi:
a.       Biaya penelitian, meliputi biaya penentuan hak milik yang mana yang diinginkan dan biaya penentuan bernegosiasi;
b.      Biaya negosiasi, meliputi biaya persiapan, biaya penulisan kontrak, dan biaya tawar-menawar dalam uraian yang terperinci;
c.       Biaya monitoring, yaitu biaya penyelidikan tentang objek;
d.      Biaya pelaksanaan, meliputi biaya persidangan dan arbitrase;
e.       Biaya kekeliruan hukum, yang merupakan biaya sosial. Biaya ini akan muncul apabila hakim membuat kesalahan dalam memutus suatu kasus. Hal ini akan membuat kesalahan pada kasus-kasus berikutnya.
Dalam kehidupan di masyarakat, banyak perjanjian yang tanpa biaya, misalnya pekerjaan borongan membangun rumah yang dilakukan secara lisan antara pihak pemilik rumah dengan pemborong. Dengan demikian, perjanjian lisan tersebut tidak memiliki kekuatan hukum.
Untuk suatu perjanjian yang syah harus dipenuhi empat syarat yaitu:
a.       Perizinan yang bebas dari orang-orang yang mengikatkan diri
Tiada sepakat yang sah apabila sepakat itu diberikan karena kekhilafan, atau diperolehnya dengan paksaan atau penipuan. Kekhilafan tidak mengakibatkan batalnya suatu perjanjian selain apabila kekhilafan itu terjadi mengenai hakikat barang yang menjadi pokok perjanjian.Kekhilafan itu tidak menjadi sebab kebatalan, jika kekhilafan itu hanya terjadi mengenai dirinya orang dengan siapa seorang bermaksud membuat suatu perjanjian, kecuali jika perjanjian itu telah dibuat terutama karena mengingat dirinya orang tersebut.
Paksaan yang dilakukan terhadap orang yang membuat suatu perjanjian, merupakan alasan untuk batalnya perjanjian, juga apabila paksaan itu dilakukan oleh seorang pihak ketiga.
b.      Kecakapan untuk membuat suatu perjanjian;
Setiap orang adalah cakap untuk membuat perikatan-perikatan, jika ia oleh undang-undang tidak dinyatakan tidak cakap. Tak cakap untuk membuat suatu perjanjian adalah: orang-orang yang belum dewasa, mereka yang ditaruh dibawah pengampuan, orang-orang perempuan, dalam hal-hal yang ditetapkan oleh undang-undang, dan pada umumnya semua orang kepada siapa undang-undang telah melarang membuat perjanjian-perjanjian tertentu.
c.       Suatu hal yang tertentu yang diperjanjikan
Hanya barang-barang yang dapat diperdagangkan saja yang dapat menjadi pokok suatu perjanjian. Suatu perjanjian harus mempunyai sebagai pokok suatu barang yang paling sedikit ditentukan jenisnya. Tidaklah menjadi halangan bahwa jumlah barang tidak tentu, asal saja jumlah itu terkemudian dapat ditentukan atau dihitung.
d.      Suatu sebab (oorzaak) yang halal, artinya tidak terlarang (pasal 1320).
Suatu perjanjian tanpa sebab, atau yang telah dibuat karena sesuatu sebab yang palsu atau terlarang, tidak mempunyai kekuatan. Jika tidak dinyatakan suatu sebab, tetapi ada sesuatu sebab yang halal, ataupun jika ada suatu sebab lain, daripaada yang dinyatakan, perjanjiannya namun demikian adalah sah. Suatu sebab adalah terlarang, apabila dilarang oleh undang-undang, atau apabila berlawanan dengan kesusilaan baik atau ketertiban umum.
Akibat Suatu Perjanjian
Menurut ketentuan pasal 1338 KUHPer, perjanjian yang dibuat secara sah, yaitu memenuhi syarat- syarat pasal 1320 KUHPer berlaku sebagai undang- undang bagi mereka yang membuatnya, tidak dapat ditarik kembali tanpa persetujuan kedua belah pihak atau karena alasan- alasan yang cukup menurut undang- undang, dan harus dilaksanakan dengan itikad baik.
Penafsiran Suatu Perjanjian
1.      Menurut Pasal 1342 KUH Pdt.
“Jika kata-kata suatu perjanjian jelas, tidaklah diperkenankan untuk menyimpang daripadanya dengan jalan penafsiran”
2.      Menurut Pasal 1343 KUH Pdt.
“Jika kata-kata suatu perjanjian dapat diberikan berbagai macam penafsiran, harus dipilihnya menyelidiki maksud kedua belah pihak yang membuat perjanjian itu, daripada memegang teguh arti kata-kata menurut huruf”.
3.      Pasal 1345 KUH Pdt.
“Jika kata-kata dapat diberikan dua macam pengertian, maka harus dipilih pengertian yang paling selaras dengan sifat perjanjian”.
Batalnya Suatu Perjanjian
1.      Batal demi hukum  : suatu perjanjian menjadi batal demi hukum apabila syarat objektif bagi  sahnya suatu perjanjian tidak terpenuhi. Jadi secara yuridis  perjanjian tersebut dianggap tidak pernah ada.
2.      Atas permintaan salah satu pihak :  pembatalan dimintakan oleh salah satu pihak misalnya dalam hal ada salah satu pihak yang tidak cakap menurut hukum. Harus ada gugatan kepada Hakim. Pihak lainnya dapat menyangkal hal itu, maka harus ada pembuktian.
UU memberikan kebebasan kepada para pihak apakah akan menghendaki pembatalan atau tidak – oleh UU pembatalan tersebut dibatas sampai 5 thn, diatur oleh pasal  1454 KUHPer  tetapi pembatasan waktu tersebut tidak berlaku bagi pembatalan yang diajukan selaku pembelaan atau tangkisan.
Asas konsensus yang terdapat dalam pasal  1320 KUHPer  tidak berlaku secara keseluruhan  tetapi  ada pengecualiannya. Undang-undang  menetapkan suatu formalitas untuk perjanjian tertentu, misalnya hibah benda tak bergerak, maka harus dibuatkan dengan akta notaris, perjanjian perdamaian harus dibuat tertulis, dll. Apabila perjanjian dengan diharuskan dibuat dengan bentuk tertentu tersebut tidak dipenuhi maka perjanjian itu  batal demi hukum.


DAFTAR PUSTAKA

Hariri Wawan Muhwan. Hukum Perikatan Dilengkapi HUkum Perikatan dalam Islam. Bandung: CV Pustaka Setia. 2011.
Prof. Subekti, S.H.  Pokok-Pokok Hukum Perdata. Bandung : PT Intermasa. 1978
Sudaryat, S.H., M.H. Legal Officer. Bandung: Oase Media. 2008

Sabtu, 18 Januari 2014

Bahasa Indonesia Etika yang berlaku dalam penulisan ilmiah



Etika yang berlaku dalam penulisan ilmiah:
  1. Penulis dilarang mengakui tulisan ahli atau orang lain sebagai tulisan sendiri (plagiarisme),
  2. Penulis dilarang memanipulasi data,
  3. Penulis dilarang menutupi kebenaran dengan sengaja, namun bukan berarti boleh menuliskan nama sebenarnya informan tanpa kesepakatannya, dan
  4. Penulis dilarang menyulitkan pembaca
Yang perlu diperhatikan
  1. Ada aturan baku/norma/etika penulisan
  2. Yang terlibat dalam penelitian,  penulisan, publikasi ilmiah harus diberi kredit/penghargaan.
  3. Jika dilakukan berdua à penulis utama adalah yang melakukan lbh banyak dibanding kopenulis
  4. Beri penghargaan kepada narasumber, orang ahli/lembaga yang berjasa dalam penelitian, penulisan, atau publikasi ilmiah.
  5. Terakhir, mintalah pendapat, pandangan seorang penyunting agar karya ilmiah layak baca.
Perhatikan!
¨  Seorang peneliti/penulis menjelaskan sesuatu yang belum diketahui oleh orang lain à penyajian tulisan ilmiah dan bahasa yang digunakan harus memungkinkan pembaca memahami maksud penulis/peneliti.
Kode etik penulis:
  1. Menjunjung tinggi posisi terhormat yang menyajikan kebenaran, tidak menyesatkan.
  2. Tulisan tepat, singkat, dan jelas
  3. Siap diterbitkan sehingga perlu penyunting sebagai jembatan penghubung denga pembaca
  4. Penulisan sesuai format yang ditentukan
  5. Tanggap thdp usul dan saran penyuntingàrevisi
  6. Jujur kepada diri sendir dan umum
  7. Menjunjung tinggi hak, pendapat, atau temuan orang lain à tidak mengambil ide/hsl penelitian orang lain
  8. Tidak plagiat atas tulisan sendiri maupun orang lain
  9. Menyertakan sumber pengutipan
  10. Mengirimkan naskah berarti menyerahkan sepenuhnya kepada penerbit untuk menerbitkan,menyebarluaskan, & memperjualbelikan.
  11. Bertanggung jawab atas kesalahan isi terbitan & terima konsekuensi hukum jika melanggar perundang-undangan yang berlaku.
  12. Merevisi atau mempersiapkan edisi baru jika diminta penerbit
  13. Mempunyai tugas mulia: membantu penerbit mencari dana tambahan & promosi terbitan
Etika pengacuan dan pengutipan langsung:
¨  adakalanya penulis merasa perlu mengutip langsung pernyataan pengarang atau ahli lain yang dipandang relevan dengan yang diacu
¨  Untuk kata mutiara atau sajak, pencantuman nama pengarang dan judul karyanya langsung dituliskan di bagian bawah blok kutipan.



Delapan etika pengacuan dan pengutipan langsung:
  1. Dapat mengutip secara secara tidak langsung asal disebutkan sumber penulisnya
  2. Untuk membuktikan argumentasi, penulis mengutip langsung disertai sumbernya
  3. Harus menandai kutipannya
  4. Tetap mempetahankan kesalahan atau mengubah ejaan untuk mempermudah pemahaman pembaca
  5. Harus cermat dalam mengutip secara langsung dengan menyertakan halaman & tahun karya tsb.
  6. Jika kutipan tidak lebih dari lima baris disisipkan dalam paragraf dengan diapit tanda kutip/petik, Jika lebih dari lima baris maka ditulis dalam blok tersendiri.
  7. Harus mengutip semua kata termasuk interjeksi khas bahasa lisan dari narasumber dan menyertakan namanya, kec kasus peka
Jenis karya ilmiah
  1. Laporanà ditulis setelah eksperimen, survei, observasi, pembacaan, penelaahan buku, penelitian
  2. Makalahà disebut juga paper (kertas kerja), jenis karya tulis yang memerlukan studi baik langsung maupun tidak langsung. Makalah dibaca dan dibahas dalam pertemuan ilmiah: lokakarya, seminar, konferensi, konvensi, diskusi akademik, dsb.)
  3. Usulan penelitian (proposal) à bentuk rancanga kerja, misalnya: proposal proyek
  4. Skripsi
  5. Tesis
  6. disertasi
Penulisan Daftar Pustaka
  1. Nama pengarang
  2. Tahun penerbitan buku
  3. Judul buku (dimiringkan) dan makalah atau artikel (diberi tanda petik)
  4. Disertakan edisinya
  5. Kota penerbit buku
  6. Nama penerbit
  7. Jika mengutip dari media online, harus disertakan tanggal dan jam pengutipan
  8. Pengurutan nama sesuai urutan abjad
  9. Penulisan baris kedua menjorok 5-7 spasi
  10. Tidak menyertakan gelar penulis, nama penulis mulai dari nama kedua
Penulisan Daftar Pustaka
  1. Buku
Anggarani, Asih, dkk. (2006). Mengasah Keterampilan Menulis Ilmiah di Perguruan Tinggi. Edisi pertama. Yogyakarta: Graha Ilmu
  1. Majalah atau jurnal
  2. Kurniawan, Khaerudin. (2003). “Transfortasi Perguruan Tinggi Menuju Indonesia Baru,” Jurnal Pendidikan dan Kebudayaan, Badan Penelitian dan Pengembangan, Departemen Pendidikan Nasional, Jakarta, Maret 2003 Tahun ke-9, No. 041, hal. 159-173.











latihan
Judul Buku
Penulis
Tahun
Penerbit
Kota Penerbit
Dasar-Dasar Kependidikan
Hamdani
2011
Pustaka Setia
Bandung
Yang Penting buat Anda
Wedhawati, Gina, syamsul Arifin, Herawati, Sukardi mp.
1991
Duta Wacana University Press
Yogyakarta
Strategi Pembelajaran Berbasis Kompetensi
Martinis Yamin
2003
Gaung Persada Press
Jakarta
Bahasa Indonesia Keilmuan untuk Perguruan tinggi
Khaerudin Kurniawan
2012
PT Refika Aditama
Bandung

Cara mengutip:
1. Jika kurang dari lima baris
     Menurut Khaerudin Kurniawan (2012: 38) judul penelitian hendaknya dibuat singkat, jelas, menunjukkan dengan tepat masalah yang akan ditelitim dan tidak memberi peluang bagi penafsiran interpretasi yang bermacam-macam.
2. Jika lebih dari lima baris à ditulis dengan satu spasi, masuk 5 spasi dan menjorok 5 spasi, dalam blok tersendiri
3. Jika mengutip dari tulisan orang lain
Jika mengutip dari tulisan orang lain
Dalam buku Khaerudin Kurniawan, tahun 2012 halaman 56, ada tulisan mengenai etika pengutipan yang diungkapkan oleh Mien A. Rifai yaitu harus menyebutkan narasumber dengan cermat.
àMenurut Mien A. Rifai (dalam Khaerudin Kurniawan, 2012: 56), etika pengutipan harus menyebutkan narasumber dengan cermat.




Contoh lain
Dalam Jurnal Manajemen Indonesia(atau blog atau buku) yang terbit 2011, pada halaman 5, terdapat kutipan Umar dalam jurnal tulisan Achmad Syahwier, Cahyaningsih & Deannes Isynuwardhana sebagai berikut tujuan dari riset korelasi (correlation study) adalah untuk menentukan tingkat hubungan variabel-variabel yang berbeda dalam suatu populasi (Umar 1998). Jika Muh. Reza  mengutip pendapat Umar tanpa membaca bukunya kutipan tidak langsung yang benar adalah…
àUmar(dalam Achmad Syahwier, dkk., 2011:5) menyatakan bahwa tujuan dari riset korelasi (correlation study) untuk menentukan tingkat hubungan variabel-variabel yang berbeda dalam suatu populasi





Latihan:
  1. Tulisan Ibrahim (1996: 193) Untuk membaca suatu bahan bacaan ada beberapa cara berdasarkan tujuannya, yaitu…. Dibaca dari buku Bahasa Indonesia untuk Perguruan Tinggi karangan Aleka A. & Achmad H.P. yang terbit 2010 halaman 165. Jika Umayah akan mengutip pendapat tersebut, bagaimana cara menuliskannya.
  2. Asih Anggarani, dkk. Dalam buku Mengasah Keterampilan Menulis Ilmiah di Perguruan Tinggi, terbit tahun 2006 pada halaman 34, mengungkapkan bahwa kata adalah satuan tata bahasa terkecil yang bebas dan mempunyai makna. Jika Alijawati akan mengutipnya, bagaimana seharusnya?
  3. Dalam Buku berjudul Bahasa Indonesia yang ditulis oleh Cecep Wahyu Hoerudin, dkk. terbit pada tahun 2013, edisi 13 hal. 59, diungkapkan bahwa kalimat efektif adalah kalimat yang memiliki kemampuan untuk menimbulkan kembali gagasan-gagasan pada pikiran pendengar atau pembaca seperti apa yang ada pada pikiran pembaca atau penulis. Jika Muhammad Subhan mengutip pendapat tersebut, bagaimana cara penulisannya yang benar?